A. Pendahuluan
Bank Indonesia sejak 2010 hingga sekarang masih kukuh pada
rencananya yang akan memangkas mata uang Indonesia (Rupiah), atau yang
biasa disebut sebagai sanering atau redenominasi. Hal ini disebabkan
karena digit angka dalam satuan mata uang Rupiah dianggap sudah terlalu
banyak/panjang.
Sebagai contoh pada tahun 2012 ini nilai dari 1 gram emas bila
dinilai dengan satuan mata uang Rupiah berkisar Rp. 500.000, yang
berarti menggunakan enam (6) digit angka. Penggunaan digit dalam menilai
suatu harga emas tersebut dianggap sudah terlalu panjang. Dapat kita
bandingkan dengan mata uang dolar Amerika yang menilai 1 gram emas hanya
sebesar $ 50 ($ 1 = Rp 10.000), yang berarti hanya menggunakan dua
digit angka. Tentu terlihat jelas perbedaannya yang seolah mencerminkan
kekuatan pada masing-masing mata uang. Sehingga BI sebagai pihak yang
paling berkuasa dalam menentukan jumlah uang beredar di Indonesia,
meluncurkan wacana untuk memotong digit angka dalam nilai Rupiah
(sanering), hal ini dilakukan agar martabat nilai Rupiah di mata dunia
internasional diharapkan lebih memiliki nilai jual.
Rencana yang digulirkan BI untuk melaksanakan program redenomiasi
bukanlah hal baru. Sebab, di tahun 1965 di era pemerintahan Orde Lama
pimpinan Presiden pertama Ir. Soekarno, kebijakan pemangkasan nominal
sudah pernah dilakukan, yaitu memotong uang dengan nominal Rp.1000
menjadi Rp. 1 yang berarti membuang 3 digit angka dibelakangnya. Dengan
menginstruksikan kepada masyarakatnya agar menyerahkan uang Rp.1000 yang
berada ditangannya agar ditukarkan di Bank Sentral menjadi uang Rp.1,-
yang baru dicetak/dikeluarkan, kesempatan penukaran ini dilakukan dalam
jangka waktu tertentu, karena diluar jangka waktu tersebut pemerintah
akan mengumumkan ketidakberlakuan terhadap mata uang lama (Rp.1000).
Jadi, dalam redenominasi yang dipotong bukan nilai tukar, melainkan
digit nominal yang tertera dalam selembar uang Rupiah.
Adapun sanering oleh sebagian kalangan ekonom diartikan berbeda
dengan redenominasi. Sanering adalah pemangkasan nominal uang beserta
nilainya, sedangkan redenominasi diartikan pemangkasan nominal uang
tanpa nilai yang juga ikut terpangkas. Namun demikian menurut penulis
sanering bukanlah hal yang berbeda dengan redenominasi. Sebab bila
dikatakan sanering adalah pemangkasan pemerintah terhadap nominal mata
uang beserta terpangkasnya pula nilainya, hal tersebut hanyalah
kebijakan tanpa dampak. Sebab pemerintah tidak akan pernah bisa
mengendalikan harga pasar terhadap uang, hukum permintaan dan penawaran
atas uang hanya bisa dikendalikan oleh pasar yang dikendalikan tidak
lain oleh masyarakat itu sendiri. Ucapan pemerintah terhadap itu tentu
tidak akan berdampak signifikan terhadap permintaan uang setelah maupun
sebelum sanering sebagaimana tahun 1965. jadi sanering tidaklah berbeda
dengan redenominasi.
B. Latarbelakang Masalah
Sejarah mencatat pertumbuhan digit nominal mata uang Rupiah, bahwa
setelah redenominasi 1965 pecahan Rp 1, dan Rp 2, hilang dari peredaran
pada tahun 1970-an, sepuluh tahun kemudian Rp 5, dan Rp 10, pun hilang
di tahun 1980-an, kemudian Rp 25, dan Rp 50, hilang di tahun 1990-an.
Yang berarti bahwa uang yang hilang dari peredaran tersebut satu persatu
kehilangan daya tukarnya.Kini pada 2012 ini pecahan Rp 100,- dan Rp
200,- perlahan mulai kehilangan daya belinya. Maka dapat dipastikan
bahwa pencetakan uang Rp 1000 dalam bentuk koin dan Rp 2000 adalah
bentuk persiapan saat Rp 100, Rp 200 atau Rp 500 ditarik dari peredaran
karena kehilangan daya tukar. Dan suatu saat juga dimungkinan dengan
pasti bahwa BI akan mencetak uang dengan lembaran kertas yang nominalnya
lebih panjang semisal Rp 200.000 atau Rp 500.0000 untuk menggantikan
lembaran uang terkecil yang nilainya telah hilang. Ini adalah bentuk
pertumbuhan digit nominal pada mata uang Rupiah. Sebab nilai suatu
barang terus digantikan oleh digit nominal uang yang semakin panjang.
Sebagaimana yang diuraikan diatas, peristiwa pemotongan nominal
mata uang/sanering di Indonesia (denominasi) sudah pernah dilakukan BI
di era pemerintahan Orde Lama. Dan mungkin dapat dibayangkan apabila
saat itu pemerintah tidak melakukan sanering, tentu jumlah digit nominal
uang yang kita pegang saat ini akan lebih panjang lagi. Dan pasti untuk
membeli 1 gr emas pembeli harus membayarnya dengan Rp. 500.000.000,-.
(5 lembar uang @ Rp. 100.000.000). akan tetapi karena pemerintah
melakukan pemotongan 3 digit angka dibelakangnya saat itu, maka saat ini
untuk membeli 1 gr emas cukup dengan Rp. 500.000 (5 lembar uang @ Rp.
100.000). Tampak secara kasat mata kita melihat ada perubahan saat
sebelum dan setelah sanering, dan begitulah kiranya kebijakan
redenominasi yang mampu membuat mata uang suatu negara tampak lebih
memiliki nilai karena sedikitnya digit angka yang digunakan.
Perlu menjadi catatan bagi pembaca sebagai ingatan, bahwa menurut
gubernur BI Darmin Nasution, kebijakan sanering oleh pemerintah orde
Lama tahun 1965 dilakukan setelah Indonesia pada saat itu mengalami
kenaikan harga-harga (inflasi) barang sebesar 650% per tahun. Sedangkan
saat ini tingkat inflasi Indonesia sebesar 6,22%.[1] Tidak dapat terelakkan bahwa hal inilah yang membuat nominal mata uang Rupiah memanjang begitu cepat.
Pokok permasalahannya baik pada era pemerintahan Orde Lama maupun
era Reformasi ini ada pada inflasi atau naiknya harga-harga barang.
Sementara dalam dunia akademisi ekonomi, pada mata kuliah ekonomi makro
yang mempelajari peristiwa ekonomi secara agregat, setiap anak didik
(mahasiswa) akan mempelajari teori inflasi, dan teori inflasi yang
dipelajari adalah teori inflasi secara agregat, dan bukan inflasi dalam
skala ekonomi mikro. Maka teori yang diajarkan adalah inflasi yang
bersifat agregat dan terjadi secara tahunan. Apabila inflasi tahunan
suatu negara turun mendekati angka 0 %, maka keadaan ekonomi suatu
Negara tersebut dianggap baik, dan begitu juga apabila inflasi tahunan
suatu Negara meningkat semakin menjauhi angka 0, misal 4%, 5%, 7% dan
seterusnya, maka keadaan ekonomi suatu Negara dianggap semakin memburuk.
Namun demikian, sebelum membahas permasalahan yang lebih kompleks,
agar dapat memahami masalah secara tepat marilah sejenak mengingat
kembali teori inflasi yang menjadi objek bahasan para akademisi
tersebut;
Inflasi: adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus. Lawan dari inflasi adalah deflasi, yaitu kondisi dimana tingkat harga mengalami penurunan terus menerus.
Dari pengertian tersebut ada beberapa kemungkinan yang dapat kita
fahami, yaitu kenaikan harga barang dapat bersifat sementara atau dapat
berlangsung terus menerus. Ketika kenaikan tersebut berlangsung dalam
waktu yang lama dan terjadi hampir pada seluruh barang maka gejala ini
bisa disebut inflasi, dan sebaliknya bila kenaikan harga barang bersifat
sementara dan terjadi pada barang-barang tertentu saja maka gejala
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai gejala inflasi, dan ini bukan
problem kita.
Namun demikian, teori ekonomi menyebutkan sebab inflasi/kenaikan harga setidaknya bisa diakibatkan oleh 3 faktor:
1. Tingginya Permintaan atau Inflasi Tekanan Permintaan (Demand pull Inflation)
2. Turunnya Penawaran atau Inflasi Dorongan Biaya (Cost Push Inflation)
3. Penurunan nilai mata uang
Pada faktor pertama, agar lebih dapat difahami problem pokoknya maka kita coba ilustrasikan dengan kasus berikut;
Harga ayam kampung jantan /ekor pada hari-hari biasa berkisar
Rp.80.000,- namun ketika bulan puasa menjelang Iedul Fitri harga ayam
jantan /ekor bisa mencapai Rp.150.000. hal ini disebabkan karena
kebanyakan masyarakat cenderung menghendaki dapat memakan daging ayam
pasca solat iedul fitri. Namun pasca hari raya tersebut berakhir, maka
harga ayam akan kembali menjadi Rp. 80.000 /ekor. Sebab mayoritas
masyarakat tidak lagi memiliki keinginan kuat untuk memakan daging ayam,
sehingga penjual tidak memiliki alasan untuk menawarkan barangnya
dengan harga yang sama saat menjelang hari raya.
Pada ilustrasi diatas dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga
tersebut tidak tergolong inflasi, sebab kenaikan harga ayam tidak
terjadi terus menerus, melainkan hanya bersifat sementara saja. Kenaikan
harga barang lebih disebabkan karena tingginya permintaan. Kenaikan
harga pun terjadi tidak merata, melainkan hanya terjadi pada
wilayah-wilayah dan barang-barang tertentu saja. Sebab semisal barang
konveksi tidak ikut naik, yang ada justru cenderung turun.
Inflasi Tekanan Permintaan (Demand Pull Inflation) yang
diilustrasikan diatas yang diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya
inflasi, ternyata apabila dilihat dari ilustrasi diatas jelas tidak
mungkin terjadi. Sebab dalam realitanya kita tidak pernah menemukan.
Selain untuk membayangkan saat semua masyarakat secara tiba-tiba need and want-nya
bertambah dan tidak pernah lagi kembali seperti sediakala rasanya
mustahil terjadi. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa tekanan
permintaan (Demand Pull) hanyalah rekayasa teori dan jelas bukan
penyebab riil terjadinya inflasi, baik inflasi yang terjadi di era orde
lama maupun era-era setelahnya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa
terjadinya sanering atau pemangkasan nominal uang (denominasi) yang
disebabkan oleh inflasi, sebenarnya bukanlah inflasi yang disebabkan
oleh Demand Pull Inflation.
Adapun pada kemungkinan faktor kedua, yaitu inflasi akibat cost push inflation atau
dorongan biaya, contohnya adalah kenaikan BBM. Bahan bakar minyak
memang tidak disangkakan lagi bahwa kenaikannya dapat mendorong naiknya
harga barang dan jasa, sebab barang dan jasa tersebut diproduksi tidak
lain menggunakan tenaga mesin yang berbahan bakar minyak bumi.
Kenaikannya mengharuskan produsen menaikkan harga jual produksinya jika
masih menginginkan tingkat keuntungan seperti masa-masa saat harga bahan
bakar belum naik. Sedangkan bahan bakar minyak bukanlah barang yang
mudah didapat atau mudah diproduksi, sehingga pengadaannya memerlukan
tenaga extra yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh negara. Sehingga
hanya negara yang kuasa menentukan harganya. Apabila Negara sedang
mengalami kesulitan dalam pengeksplorasian minyak mentah diarenakan
sebab-sebab tertentu, maka wajar bila biaya pengeksplorasian tersebut
membutuhkan biaya yang lebih besar dari biasanya, dengan demikian secara
alami harga jual BBM pun menjadi naik.
Sehingga jelas bahwa naiknya harga BBM memang mendorong produsen
nasional menaikkan harga barang dan jasa produksinya. Dengan ini
tergambar bahwa kenaikan BBM sangat mendorong tingkat inflasi. Namun
apakah benar inflasi akibat cost push inflation menjadi sebab
pemerintah melakukan pemotongan nominal mata uang, jawabnya tentu tidak.
Sebab inflasi yang ada di Indonesia bahkan yang seluruh dunia alami,
menurut teori inflasi diatas terjadi pada setiap tahunnya. Sedangkan
kenaikan harga BBM terjadi tidak pada setiap tahunnya, melainkan hanya
pada saat dan kondisi tertentu. Berarti ada tahun-tahun dimana inflasi
terjadi bukan oleh sebab kenaikan harga BBM. Selain itu, apabila harga
BBM kembali turun maka harga-harga barang pun perlahan turun
mengikutinya.
Dengan demikian cost push inflation tidak dapat dikatakan
sebagai inflasi sebenarnya yang menjadi sebab digit nominal uang Rupiah
memanjang, sehingga pemerintah harus melakukan pemangkasan terhadapnya.
Hanya tinggal kemungkinan faktor ketiga mengapa digit nominal
Rupiah dapat berkembang, yaitu inflasi akibat penurunan nilai mata uang.
Dimisalkan dengan segelas es teh di wilayah Yogyakarta dalam keadaan
normal pada tahun 2007 adalah Rp.1000, namun ditahun 2012 harga segelas
es teh tersebut menjadi Rp. 1500, padahal bahan baku teh tidak mengalami
kelangkaan yang mengakibatkan biaya untuk mendapatkannya menjadi lebih,
juga tidak terjadi kenaikan bahan bakar ditahun-tahun pra naiknya harga
teh tersebut. Demikian pula tidak terjadi peningkatan keinginan dan
permintaan masyarakat secara serentak terhadap teh. Sehingga 2
kemungkinan inflasi diatas tentu bukanlah sebabnya.
Jawabnya adalah bahwa kenaikan harga segelas es jeruk diatas adalah
akibat turunnya nilai mata uang oleh sebab bertambahnya jumlah uang
beredar.
Ketiga factor tersebut sama-sama akan membuat kenaikan harga, atau
membuat kemampuan uang untuk mendapatkan segelas es teh tersebut akan
menurun, sehingga untuk mendapatkan segelas es teh, masyarakat harus
mengeluarkan jumlah uang yang lebih besar dari biasanya. Dan ini bisa
disebut sebagai inflasi dengan artian umum yaitu kenaikan harga, bukan
pada arti inflasi secara khusus.
Perbedaannya adalah, bahwa faktor pertama dan kedua tersebut adalah
faktor yang bukan berasal dari perbuatan jelek dari tangan manusia
yaitu sebab alami supply dan demand, dan terjadi tidak secara agregat, sehingga Nabi SAW melarang menetapkan harga (tas’ir) ketika para shahabat menginginkannya agar harga tidak berfluktuatif.
عن أنس رضي الله عنه قال: غلا السعر في المدينة على عهد
رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال الناس: يا رسول الله غلا السعر، فسعر
لنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إنّ الله هو المسعر القابض،
الباسط، الرازق، وإني لأرجو أن ألقى الله وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة في
دم ولا مال “، رواه الخمسة إلا النسائي وصححه ابن حبان.
”Harga barang dagangan pernah melambung tinggi di Madinah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu orang-orang pun berkata:”Wahai Rasulullah, harga barang melambung, maka tetapkanlah standar harga untuk kami.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya Allah lah al-Musa’ir (Yang Maha Menetapkan harga), al-Qabidh, al-Basith, dan ar-Raziq.
Dan sungguh aku benar-benar berharap berjumpa dengan Allah dalam
keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan
kezhaliman dalam masalah darah (nyawa) dan harta” (HR. al-Khomsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Sedangkan faktor ketiga adalah bukan sebab alami, melainkan sebab
perbuatan jelek dari tangan manusia. Dan inilah problem inflasi yang
dibahas dalam dunia akademisi ekonomi dalam bidang ekonomi makro. Karena
kenaikan harga (inflasi) pada es jeruk atau barang-barang kebutuhan
pokok pada faktor ketiga merupakan hal yang biasa terjadi dalam skala
tahunan dan secara agregat (merata pada suatu masyarakat), dan hal ini
terjadi bukan oleh sebab kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok
tersebut.
Satu-satunya sebab dari faktor ketiga diatas, yaitu penurunan nilai
suatu mata uang adalah peningkatan jumlah uang beredar. Hal ini sesuai
dengan apa yang dinyatakan oleh Irving Fisher dalam teorinya tentang
inflasi. Yaitu inflasi adalah turunnya nilai mata uang karena
bertambahnya jumlah uang beredar. Penulis gambarkan dalam skala kecil
untuk memudahkan pembaca memahami kronologisnya. Dimisalkan ada 10 orang
dengan masing-masing memegang:
Pemegang Uang
|
Jumlah Rupiah
|
Persentase uang beredar
|
Orang Pertama
|
Rp.5,
|
0,5%
|
Orang Kedua
|
Rp.10,
|
1%
|
Orang Ketiga
|
Rp.15
|
1,5%
|
Orang Keempat
|
Rp 25,
|
2,5%
|
Orang Kelima
|
Rp.50,
|
5,0%
|
Orang Keenam
|
Rp.75,
|
7,5%
|
Orang Ketujuh
|
Rp.120,
|
12%
|
Orang Kedelapan
|
Rp.150,
|
15%
|
Orang Kesembilan
|
Rp.250,
|
25%
|
Orang kesepuluh
|
Rp.300,
|
30%
|
Jumlah
|
Rp. 1000
|
100%
|
Dengan demikian jumlah uang beredar pada 10 orang tersebut adalah
Rp.1000,. Apabila dikemudian hari orang kedelapan yang memegang uang
Rp.150 mendapat tambahan uang sebesar Rp.100 yang berasal dari langit,
maka kini ia memegang uang Rp.250. Maka nominal jumlah uang beredar
diantara 10 orang tadi bertambah menjadi Rp.1100. maka proporsi
persentase uang beredar diantara mereka saat ini adalah sebagai berikut:
Pemegang Uang
|
Jumlah Rupiah
|
Persentase uang beredar
|
Keterangan
|
Orang Pertama
|
Rp. 5,
|
0,45%
|
menurun
|
Orang Kedua
|
Rp.10,
|
0,90%
|
menurun
|
Orang Ketiga
|
Rp.15,
|
1,36%
|
menurun
|
Orang Keempat
|
Rp 25,
|
2,27%
|
menurun
|
Orang Kelima
|
Rp.50,
|
4,54%
|
menurun
|
Orang Keenam
|
Rp.75,
|
6,81%
|
menurun
|
Orang Ketujuh
|
Rp.120,
|
10,90%
|
menurun
|
Orang Kedelapan
|
Rp.250,
|
22,72%
|
naik
|
Orang Kesembilan
|
Rp.250,
|
22,72%
|
menurun
|
Orang kesepuluh
|
Rp.300,
|
27,27%
|
menurun
|
Jumlah
|
Rp.1100
|
100%
|
Perhatikan pada orang kedelapan, dari angka-angka diatas dapat
terlihat bahwa sembilan orang selain orang kedelapan diatas, proporsi
persentase nilai uang yang dipegangnya mengalami penurunan. Adapun
satu-satunya pihak yang proporsi uang dipegangnya yang bertambah adalah
hanya orang kedelapan yang tidak lain mendapat tambahan uang yang
berasal dari langit tadi.
Permasalahan utamanya adalah, pada saat jumlah uang beredar sebesar
Rp. 1000, maka seseorang akan mampu membeli seliter beras dengan harga
(misalkan) Rp.10,- (1% dari jumlah uang beredar). Namun ketika jumlah
uang beredar bertambah menjadi Rp.1100, maka harga seliter beras akan
dengan sendirinya menyesuaikan dengan jumlah uang beredar yang baru,
yaitu harga seliter beras akan mengikuti kisaran harga Rp.11. (tetap
pada 1% dari jumlah uang beredar).
Dapat terungkap satu hukum ekonomi bahwa, dalam keadaan
cateris paribus harga suatu barang ditentukan oleh persentase tertentu
dari jumlah uang beredar. Seberapapun banyak dan sedikitnya jumah uang
beredar, maka harga suatu barang akan mengikuti naik turunnya jumlah
uang beredar tersebut.
Dengan demikian yang terkena dampak dari pertambahan jumlah uang
beredar tersebut adalah orang-orang yang memegang uang dibawah harga
baru dari seliter beras Rp.11, yaitu orang-orang yang memegang uang Rp.5
dan Rp.10. Sebab kini mereka tidak lagi sanggup membeli seliter beras.
Sebab sebagian nilai tukar uang yang ada pada uang yang mereka berdua
pegang dan ketujuh orang lainnya telah berpindah tangan pada orang ke-8.
Namun yang sangat merasakan dampaknya adalah kedua orang tersebut yang
memegang uang dibawah nominal Rp11. sebab orang pertama dan orang kedua
yang sebelum penambahan jumlah uang beredar memiliki proporsi sebesar
0,5% dan 1%, namun setelah uang beredar bertambah di tangan orang ke-8,
proporsi mereka (nilai tukarnya) turun menjadi 0,45% dan 0,90 %.
Sedangkan harga beras tetap 1% dari jumlah uang beredar.
Adapun sanering/redenomiasi pada contoh diatas adalah pemotongan
nominal, misalkan Rp.11 dipotong menjadi Rp.10,. dengan demikian
pemotongan nominal adalah menganggap peredaran uang sebesar Rp.1100
menjadi kembali pada Rp.1000. sehingga daya tukar Rp.11 sebelum
sanering, dengan Rp.10 setelah sanering adalah sama. Yaitu sama-sama
mampu ditukarkan dengan seliter beras.
Jadi, sanering tidak membuat tambahan penderitaan bagi orang yang
memegang uang dibawah Rp.11, sebab penderitaan tersebut sudah dapat
dirasakan sejak saat jumlah uang beredar bertambah menjadi Rp.1100
akibat orang ke-8 tadi. Dan mereka tetap menderita walaupun setelah
kebijakan sanering. Sebab, walaupun harga beras telah kembali pada harga
Rp.10, namun nilai nominal dan nilai riil uang yang dipegang oleh kedua
orang pertama tadi (Rp.5 dan Rp.10), telah mengalami penurunan menjadi
Rp.4,5 dan Rp.9 (dibawah harga seliter beras), karena setelah sanering
nilai uang riil adalah berdasarkan nilai dari proporsi total jumlah uang
beredar.
Contoh diatas adalah peristiwa kecil yang mudah dirasakan,
sedangkan yang terjadi saat ini berjumlah triliunan Rupiah jumlah uang
beredar, yaitu berkisar ratusan triliunan Rupiah. Sehingga sebabnya akan
sulit disadari ketimbang contoh tersebut diatas. Contoh diatas yang
menceritakan akan penambahan jumlah uang beredar pada orang ke-8 yang
pada awalnya ia memegang Rp.150 kemudian mendapat tambahan Rp.100 dari
sumber yang tidak logis menjadi Rp.250. dalam kehidupan nyata, hal yang
tidak logis tersebut tidak lain adalah riba atau bunga. Yaitu sebagai
iming-iming agar orang ke-8 tadi mau mengedarkan uangnya dari pada hanya
disimpan dibawah kasurnya.
C. Pokok Bahasan
Bunga/Interest (riba) adalah salah satu dari pokok kegiatan
perekonomian negara Kapitalis, termasuk Indonesia. Bunga adalah
instrument keuangan negara paling penting atau alat kebijakan moneter
utama Indonesia, yaitu untuk mengatur jumlah uang beredar. Apabila
harga-harga naik akibat jumlah uang beredar tinggi, maka pemerintah akan
menaikkan suku bunga bank, baik dalam bentuk obligasi pemerintah, SBI
(sertifikat bank Indonesia), dan Surat Utang Negara (SUN) lainnya, agar
tingkat jumlah uang beredar menjadi turun yang diharap akan berlanjut
pada harga-harga pun akan menjadi turun. Sebab dengan menaikkan tingkat
suku bunga diharapkan masyarakat tertarik untuk memasukan uang ke dalam
bank, sehingga uang yang sebelumnya beredar di masyarakat terhisap masuk
kedalam bank.
Namun masalah selanjutnya adalah penarikan jumlah uang beredar
tersebut disertai dengan iming-iming bunga juga, yang konsekwensi logis
kedepannya adalah penambahan lagi jumlah uang beredar baru (dengan
pencetakan uang baru) akibat janji pemerintah yang akan memberikan bunga
pada pinjamannya guna mengurangi jumlah uang beredar. Hal yang demikian
ini tidak ubahnya solusi dengan lingkaran perputaran yang tidak ada
ujungnya.
Sistem bunga dalam perbankan nasional benar-benar bukan sistem yang
baik, bahkan itu adalah sistem yang penuh cacat yang selalu merusak
lingkungan sekitarnya. Sebab untuk menarik uang masyarakat agar bisa
masuk ke perbankan membutuhkan suatu jaminan supaya masyarakat percaya
bahwa uang yang disimpannya di bank aman dan tidak akan hilang. Sebab
bagaimanapun bank adalah lembaga keuangan yang berorientasi profit.
Pemutaran uang oleh bank dengan tujuan profit tersebut tentu memiliki
resiko rugi. Padahal uang yang diputar adalah uang masyarakat (dana
pihak ketiga), apabila bank mengalami kerugian maka pada dasarnya yang
mengalami kerugian tersebut adalah masyarakat. Dengan demikian bila
seperti ini masyarakat akan enggan menaruh uangnya di bank.
Oleh karena itu berdirilah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yaitu
suatu lembaga pemerintah yang bertugas memberikan jaminan kepada
masyarakat untuk keamanan uang yang disimpannya di bank. Apabila bank
tempat masyarakat menyimpan uangnya mengalami kerugian maka uang
masyarakat tersebut akan diganti oleh LPS tersebut. Sebagaimana kasus bail out bank
Century. Lalu berasal dari mana dana LPS untuk mengganti uang
masyarakat, tentu saja berasal dari kucuran pemerintah. Padahal 75%
pendapatan pemerintah dalam APBN tidak lain adalah berasal dari pajak
masyarakat.
Kredit macet perbankan umum adalah kejadian riilnya, yang banyak
memberikan andil dalam peningkatan harga-harga akibat penurunan nilai
mata uang. Sebab setiap kredit macet perbankan dijamin oleh LPS
pemerintah akan pengembaliannya plus bunga. Dari banyaknya kredit
perbankan nasional yang disalurkan sebagiannya mengalami kredit macet,
dan dari waktu ke waktu tingkat NPLs (kredit macet) perbankan selalu
mengalami peningkatan.
Pengembalian pokok kerugian bank oleh LPS bisa jadi dananya berasal
dari perputaran siklus ekonomi sehingga tidak mempengaruhi jumlah uang
beredar, namun dana untuk membayar bunga merupakan suatu kewajiban yang
benar-benar diciptakan dengan rekayasa ekonomi. Sehingga tidak mungkin
tidak kecuali pemerintah akan mencetak uang baru demi membayar janji
bunga simpanan tersebut. Dengan demikian uang beredar di masyarakat akan
bertambah. Sebab pada hakekatnya uang pokok atas kerugian bank akibat
kredit macet tetap beredar di masyarakat. Sedangkan uang untuk membayar
bunganya adalah tambahan sehingga menambah jumlah uang beredar.
Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah uang beredar secara luas
sebesar Rp2.849,8 triliun pada Februari 2012, naik 17,8% dibanding
periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp2.420,2 triliun.
Sebagaimana dijabarkan dalam Statistik Ekonomi dan Moneter BI, untuk
uang kartal di masyarakat, baik uang logam dan uang kertas tercatat
mengalami pertumbuhan 14,2% dari Rp245,3 triliun menjadi Rp280,1 triliun
dalam setahun.[2]
Bank Indonesia mengaku pencetakan uang baru rata-rata sekitar
6 miliar lembar (baca: bukan jumlah) per tahun. Adapun pencetakan uang
baru tersebut untuk menggantikan uang yang tak layak edar dan untuk
dimusnahkan bank sentral. Uang tak layak edar terdiri dari uang lusuh
dan yang lama. “Kira kira satu tahun 6 miliar lembar. Kemudian kita racik uang rusak dan cetak yang baru,”
kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas, Rabu (2/5). Lebih jauh kata
Ronald, dari total Rp 6 miliar lembar yang dicetak tersebut sekitar 20%
atau sekitar 1 miliar lembar uang yang dicetak digunakan untuk menopang
pertumbuhan ekonomi. “Rata-rata 80% atau 5 miliar lembar yang
diracik untuk mengganti uang lusuh. Yang lainnya untuk pertumbuhan
ekonomi karena kebutuhan ekonomi yang membaik,” paparnya.[3]
Janji terhadap tambahan bunga simpanan menurut BI adalah penopang
pertumbuhan ekonomi, namun itu adalah hal yang paling tidak logis (sebab
tidak terkait dengan peredaran barang dan jasa) sebagaimana tidak
logisnya orang ke-8 diatas yang mendapat tambahan uang dari langit.
Kenaikan harga akibat penurunan nilai mata uang berarti penambahan
nominal yang tertera pada selembar mata uang. Penurunan mata uang tidak
lain adalah sebab akibat dari bunga (riba) yang mengharuskan penambahan
jumlah uang beredar untuk membayarnya. Sebab bunga bukanlah siklus
ekonomi yang memiliki kaitan dengan pertukaran barang dan jasa. Sebab
peredaran barang dan jasa mengikuti untung ruginya, sedangkan bunga
tidak memiliki kaitan sama sekali dengan untung rugi suatu siklus
perekonomian, karena bunga adalah time value of money yang mengharuskan selalu untung.
Kesimpulan lain yang dapat dipetik dari masalah diatas adalah karena mata uang yang digunakan Indonesia adalah mata uang fiat money. Yaitu
mata uang yang bersandar pada kepercayaan, yakni kepercayaan yang
diberikan pemerintah pada masyarakat bahwa uang tersebut dapat
dipertukarkan dengan barang dan jasa. Artinya nilai yang ada pada suatu
uang ada adalah karena kepercayaan. Berbeda halnya dengan mata uang
dengan standar barang seperti logam, nilai yang ada pada uang tersebut
adalah karena nilai intrinsiknya. Walaupun tidak disahkan oleh
pemerintah nilai yang ada pada logam tersebut akan tetap ada.
Adapun rupiah adalah mata uang dengan standar fiat money.
Sehingga keberadaannya sangat rawan, karena rentan terhadap pertambahan.
Apabila jumlah uang semakin banyak maka sebenarnya uang tersebut sudah
mulai kehilangan nilai, sebagaimana batu krikil yang tidak bernilai
karena banyak jumlahnya. Sedangkan Rupiah memilik potensi seperti batu
krikil tadi, bisa dalam waktu singkat menjadikan jumlahnya membesar dua
kali lipat. Sebab pada dasarnya Rupiah itu adalah nominal yang tertera
pada selembar kertas yang mudah didapat, yang cukup dengan persetujuan
pemerintah sebagai alat tukar. Sedangkan mata uang dengan standar logam
mulia (emas dan perak) tidak memiliki potensi untuk membesar dalam
keadaan yang tidak wajar, sebab logam mulia tersebut disediakan oleh
alam. Maka jumlahnya pun ditentukan oleh alam, walaupun ada potensi
manusia untuk mengurangi jumlah peredarannya di masyarakat.
Apabila pemerintah menghendaki tambahan uang Rupiah ditambah, maka
dengan mudah pemerintah dapat menciptakannya. Sebab nominalnya hanya
melekat pada lembaran kertas yang tak bernilai. Dengan demikian inflasi
akibat penurunan nilai mata uang hanya terjadi pada negara yang
berstandar fiat money, dan tidak pada standar logam.
D. Solusi Ekonomi Islam
Problem utama perekonomian Indonesia dan bahkan dunia adalah,
menganggap bahwa uang memiliki nilai waktu. Sehingga uang mejadi lebih
baik disimpan di tempat aman dari pada harus diedarkan namun tidak
menguntungkan, apa lagi apabila uang tersebut diedarkan namun justru
memiliki potensi kerugian bagi pemiliknya.
Maka pemerintah menganggap bahwa bunga atas uang adalah solusi yang
tepat untuk mengiming-imingi pemilik uang agar uang tersebut tetap
beredar di masyarakat, sebab tanpa itu (bunga/riba) maka uang tidak akan
beredar sebagaimana mestinya. Yang akan mengancam jumlah uang beredar
mengalami penurunan yang tentu membuat langkanya jumlah uang. Apabila
uang yang beredar di masyarakat menjadi sedikit, maka dampaknya pun
tidak baik, sebab uang akan menjadi mahal karena sedikitnya jumlahnya
dan barang-barang menjadi murah karena uang menjadi sulit
didapat. Dengan demikian bunga merupakan instrument keuangan yang
penting dan vital.
Maka dapat dibayangkan apabila bunga dalam perekonomian dihapus,
betapa peredaran uang di masyarakat menjadi tidak menentu. Namun disisi
lain bunga juga memiliki efek samping yang tidak kalah merusaknya. Sebab
jumlah uang akan selalu terus tumbuh demi memenuhi bunga yang diluar
siklus ekonomi tadi. Dengan demikian inflasi akibat pertambahan jumlah
uang beredar adalah inflasi yang selalu terjadi pada setiap tahunnya
secara rutin. Sedangkan redenominasi tidak ada lain sebabnya kecuali
karena jumlah uang beredar yang selalu bertambah tersebut.
Sebagaimana al-Qur’an menyebutkan:
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ
إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba,
Solusi ekonomi Islam begitu simple dan tidak berbelit-belit, cukup mengikuti ahkamul khamsah (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah) menurut Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW, maka semuanya akan stabil.
Pertama dengan menghilangkan sistem bunga (interest) yang
diharamkan dan kedua mengganti mata uang kertas menjadi berstandar
logam emas dan perak, sebab mata uang yang tidak berstandar pada logam
mulia (emas dan perak) akan rentan terhadap pemalsuan yang mengancam
penambahan jumlah uang beredar, yang nantinya akan menurunkan nilai mata
uang itu sendiri, dan menambah digit nominal mata uang. Dan ketiadaan
bunga akan menjamin jumlah uang beredar akan tetap, karena mengikuti
untung-ruginya peredaran barang dan jasa.
Namun apabila bunga/riba (interest) sebagai instrument
keuangan tidak digunakan karena keharamannya, permasalahannya ialah
dengan apa pemerintah mengatur jumlah uang beredar. Sebab sifat manusia
terhadap kekayaan adalah sama. Yaitu lebih baik menyimpan uang kekayaan
ditempat aman yang tidak berisiko berkurang atau hilang daripada
disimpan ditempat yang beresiko menjadi kurang, seperti perbankan tanpa
LPS. Juga lebih baik disimpan daripada dikelola namun memiliki resiko
rugi tinggi. dengan demikian potensi uang menjadi sedikit dan langka
diperedaran tetap ada.
Sebelum dijawab perlu diketahui terlebih dahulu sebab mengapa
bunga itu digunakan. Hal demikian telah sedikit disinggung diatas.
Penggunaan bunga sebagai instrument keuangan adalah untuk menjaga
kestabilan jumlah uang beredar di masyarakat, yaitu untuk
mengiming-imingi masyarakat agar mau mengeluarkan uangnya dari
simpanannya yang tidak produktif (penimbunan uang), demi kestabilan
peredaran uang. Atau dalam fiqih disebut sebagai kanzul maal (penimbunan uang[4]).
Oleh sebab demokrasi bertentangan dengan Islam, maka demokrasi pantang
dalam mengambil kebijakan yang berasal dari Islam. Yaitu larangan oleh
Negara tehadap prilaku penimbunan (kanz) uang, mewajibkan zakat
harta dan penetapan jizyah dengan prosentase. Sebab solusi paling handal
dan cemerlang agar jumlah uang beredar tetap ajeg adalah larangan kanzul maal:
Dan orang-orang yang menyimpan (yaknizuna) emas dan perak dan
tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas
dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu disetrika (dibakar) dengannya
dahi, lambung, dan punggung mereka. (Dikatakan kepada mereka), “Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) harta yang kamu simpan itu (QS: at-Taubah 34-35)
Bukan hanya sekedar larangan yang bersifat himbauan, namun juga
larangan tersebut dikategorikan sebagai tindak kriminal yang sangsi
hukumannya ditetapkan oleh negara (hukumantakzir).
Mewajibkan zakat bagi muzakki untuk para mustahiq yang
diwajibkan oleh Negara bagi warganya juga menjamin uang tersebut tetap
beredar di masyarakat sebab pendistribusiannya dilakukan oleh negara,
dan kemudian juga jizyah yang ditarik dari warga Negara non muslim untuk
didistribusikan kepada masyarakat luas menurut cara yang diinginkan
oleh negara. Agar harta tersebut tidak hanya beredar pada orang-orang
yang kaya saja (Kayla yakunu duulatan baina aghnia minkum). Selama uang yang dipegang seseorang berada dalam nishob,
maka selama itu pula hartanya diambil zakatnya. Dengan demikian tidak
ada penimbunan uang beredar. Maka jumlah uang beredar akan tetap
terjaga.
E. Kesimpulan
Apabila sistem ekonomi Islam yang demikian yang kita terapkan, maka
kebijakan sanering tidak akan pernah ada. Artinya kebijakan sanering
akibat membesarnya nilai nominal pada mata uang oleh sebab inflasi yang
diakibatkan penambahan jumlah uang beredar akan mustahil dilakukan.
Sebab nilai mata uang akan tetap ajeg. Allahua’lam bishshowab.
Daftar Pustaka
Deliarnov. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Maliki, Abdurrahman. 2002. Sistem Sanksi dalam Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Raharjo, Mugi. 2009. Ekonomi Moneter. Surakarta: UNS Press.
Reksoprayitno, Soediyono. 2000. Pengantar Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus. 1989. Ekonomi – jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga.
Soeharno. 2006. Teori Mikroekonomi. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Zallum, Abdul Qadim. 2002. Sistem Keuangan di Negara Khilafah. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar